Sabtu, 18 April 2009

PESANTREN SEBAGAI COMPLEMENT FORMAL EDUCATION

Oleh: Fahmi*

Perlu diakui bahwa tidak semua pondok pesantren telah terselenggara dengan baik, sebagaimana hal itu juga terjadi bahwa belum semua lembaga pendidikan formal berjalan sebagaimana mestinya. Akan tetapi, akhir-akhir ini semakin diakui bahwa ternyata pesantren menyimpan kekuatan yang justru tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan formal. Hubungan kyai dan santri yang terbangun secara kokoh, sehingga peran kyai tidak sebatas sebagai pengajar, melainkan juga sebagai pamong, pembimbing, pengasuh, pendidik dan bahkan menjadikan santri sebagaimana layaknya anak mereka sendiri, adalah suasana yang patut dikembangkan dalam proses pendidikan di mana saja termasuk di lembaga pendidikan formal. Hubungan-hubungan formal dan bahkan transaksional tidak terjadi di pondok pesantren. Kyai dan santri dengan berada di satu tempat dilengkapi dengan masjid, perpustakaan serta sarana lainnya, maka nilai-nilai pendidikan yang sesungguhnya lebih memungkinkan diimplementasikan.
Lebih dari itu, banyak aspek keberhasilan pendidikan justru diraih oleh pesantren dan tidak demikian oleh sekolah umum. Sekadar sebagai contoh, tidak sedikit perguruan tinggi yang masih gagal mengembangkan kemampuan berbahasa asing,--Arab dan Inggris, tetapi ternyata pesantren seperti Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Al-Amien Perinduan Sumenep Madura, yang berada di pedesaan, ternyata berhasil. Terasa ironis justru pendidikan umum dan bahkan termasuk banyak perguruan tinggi di kota besar masih belum berhasil mengejar kemajuan beberapa pondok pesantren tersebut. Selain itu alumni pondok pesantren tidak sedikit yang mampu melakukan kepemimpinan, apalagi dalam kehidupan agama di masyarakat, sekalipun mereka tanpa gelar sarjana. Sementara, alumni perguruan tinggi yang telah terlanjur dibekali gelar berpanjang-panjang, ternyata jangankan mencarikan pekerjaan untuk orang lain, sementara untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri saja masih banyak yang kebingungan.
Melihat kelebihan tradisi pesantren tersebut, tidak sedikit sekarang ini lembaga pendidikan formal diformat menjadi sebuah sintesa antara pendidikan umum dan pesantren dan bahkan Prof. A.Malik Fadjar, M.Sc mantan Menteri Agama dan Mendiknas pernah menulis buku tentang Sintesa Perguruan Tinggi dan Pesantren sebagai Upaya Menghadirkan Lembaga Pendidikan Alternatif. Tidak kurang dari itu, ide tersebut telah diimplementasikan di berbagai Universitas di Indonesia. Salah satu contoh, UIN Malang, sejak sepuluh tahun yang lalu memformat lembaga pendidikan Islam dengan bentuk sintesa antara pesantren dan universitas. Pada tahun pertama dan kedua----untuk sementara, menyesuaikan fasilitas yang tersedia, Universitas ini mewajibkan seluruh mahasiswa baru bertempat tinggal di Ma’had Al Aly Sunan Ampel. Setelah program ini bejalan kurang lebih sepuluh tahun, ternyata membawa hasil. Jika sebelumnya banyak dikeluhkan tentang lemahnya mahasiswa dalam berbahasa Arab dan Inggris, ternyata dengan menghadirkan tradisi pesantren di kampus, kelemahan itu sudah sedikit banyak dapat diatasi. Demikian juga dengan mereka bertempat tinggal di Ma’had, tradisi keagamaan dapat dibina lebih intensif, misalnya membiasakan mahasiswa sholat berjama’ah pada setiap sholat lima waktu, membaca al-Qur’an dan lain-lain. Selain itu, hubungan dosen dan mahasiswa, sekalipun tidak persis, sudah terhindar dari nuansa transaksional dan formal. Akhir-akhir ini dengan adanya pesantren kampus itu muncul gejala, mulai muncul fenomena baru yaitu misalnya kegiatan menghafal al-Qur’an. Tidak sedikit mahasiswa dari jurusan umum--fisika, kimia, biologi, matematika, teknik, ekonomi yang mengikuti kegiatan ini. Rupanya format pendidikan seperti ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat dan karena itulah akhir-akhir ini, menurut beberapa informasi, akan dikembangkan oleh beberapa perguruan tinggi Islam lainnya.
Melihat kenyataan-kenyataan seperti itu, maka dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang masyarakatnya sangat majemuk, dan berada di tengah-tengah perubahan yang sedemikian cepat, perlu dicarikan alternatif-alternatif sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan yang mampu menjawab tantangan zaman. Saya melihat persoalan serius penyelenggaraan pendidikan ini bukan terletak pada siapa penyelenggara dan apa bentuknya, akan tetapi pada komitmennya terhadap upaya-upaya peningkatan kualitas hasilnya. Akhir-akhir ini telah terdapat pondok pesantren, yang disebut tradisional itu ternyata telah masuk kategori modern dan sebaliknya muncul lembaga pendidikan yang disebut modern padahal sejatinya sangat terbelakang, dalam pengertian tidak menyesuaikan dengan zamannya. Lembaga yang disebutkan terakhir mengabaikan kualitas dan bahkan menyelenggarakan program yang amat jauh dari tuntutan persyaratan minimal, penyelenggaraannya sekadar bersifat formalitas yang kegiatannya tidak lebih membagi-bagi ijazah secara mudah, tanpa melawati proses yang sewajarnya. Karena itu, kata kunci dalam memperbaiki pendidikan adalah bagaimana kita bangun komitmen bersama menjadikan lembaga pendidikan semakin berkualitas secara menyeluruh, baik di lingkungan pendidikan umum maupun juga di pesantren. Rupanya sintesa antara pendidikan umum dan pesantren merupakan satu alternatif untuk mengurangi kelemahan masing-masing, terutama dalam menghadapi tantangan dan penyiapan SDM mendatang. Allahu a’lam.

*Penulis adalah Alumni MA Tahfidh Annuqayah
Tinggal di PP Annuqayah Latee

Minggu, 01 Maret 2009

CONTEK-ISME; SEBUAH SINDROME DUNIA PENDIDIKAN

Berusaha dalam menciptakan prestasi dari hasil sendiri lebih tinggi penghargaannya dari pada meniru hasil pekerjaan orang lain. Kita mungkin tidak akan asing mendengar istilah "Nyontek" dari masa kemasa. Kenapa demikian? Nyontek adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam mencontoh hasil pekerjaan orang lain dikarenakan beberapa faktor. Pertama, tidak belajar dengan baik dan teratur. Kedua, tidak faham materi. Ketiga, karena kemampuan IQnya. Keempat, pasif jika diterangkan oleh pengajar. Kelima, lingkungan keluarga yang kurang perhatian.
Seringkali para pecontek tidak berpikir bahwa apa yang dilakukannya akan menjerumuskan dirinya menjadi tidak percaya diri, padahal jika mau digali kemampuannya bisa saja lebih dari orang yang diconteknya. Karena esensinya manusia mempunyai potensi yang begitu besar dalam dirinya. Namun, ternyata nyontek sudah menjadi budaya yang mengakar dikalangan pelajar maupun mahasiswa.
Kebiasaan nyontek tidak lagi menjadi suatu yang memalukan, melainkan menjadi suatu kebanggaan dengan pemikiran “yang penting hasilnya bagus”. Nah, apa yang dilakukan oleh kaum pelajar maupun mahasiswa menjadi suatu gambaran betapa menyedihkannya potret dunia pendidikan kita saat ini, dihuni oleh orang-orang pemalas yang tidak mau berusaha untuk lebih menggali kemampuan di dalam dirinya.
Jika musimnya ujian, orang sibuk mempersiapkan diri dengan belajar untuk mereview kembali materi apa yang telah dipelajari sebelumnya, lain lagi bagi contek-isme, malah dengan PDnya mempersiapkan contekan atau ingin duduk dekat teman atau rekannya yang pintar dengan iming-iming imbalan yang ditawarkan.
Penyakit bagi pecontek intinya adalah penyakit malas dan lebih suka yang sudah instan tanpa berusaha. Pecontek itu bukannya tidak bisa atau bodoh, akan tetapi lebih ingin menikmati kesenangan ketimbang belajar. Lihatlah di sekitar lingkungan pelajar atau mahasiswa, mereka lebih banyak agenda nongkrongnya dari pada tugas utamanya yaitu back to study and study.
Bagaimana dengan posisi pengajar dalam hal ini? Yang pasti para pecontek sejati harus diajak dialog secara persuasif dan dibimbing dengan baik. Biar bagaimnapun keberhasilan prestasi anak didik salah satunya tidak lepas dari peranan para pendidik. Memang tidak mudah akan tetapi justru itu merupakan tantangan di kalangan pendidik, bagaimana anak didiknya mampu mandiri dan dapat mengasah potensi di dalam dirinya.
Bisa dibayangkan bagi kita semua, bagaimana nasib para pelajar atau mahasiswa jika kebiasaan nyontek diberantas atau diperbaiki sehingga budaya nyontek akan terkikis habis, maka akan terasa indah bahwa yang muncul adalah orang-orang yang memiliki jiwa prestasi sejati. Jika anak didiknya berhasil masa depannya itulah hasil dari gemblengan dan binaan para pendidik sebagai figur yang menjembatani anak didik untuk mencapai kesuksesan.
Proses perubahan bagi pecontek memang memerlukan waktu yang tidak sedikit atau butuh kesabaran yang tinggi. Masalahnya di sini yang diketuk adalah hati dan pikirannya untuk berubah, paling tidak upaya lain adalah memberikan kelas review dan bekerjasama dengan orang tua untuk sering dialog dengan anaknya bagaimana pelajaran yang diikuti bisa dipahami atau tidak. Jika seperti ini dilakukan, mereka (pencontek) akan merasakan perhatian dan penghargaan baik dari orang tua maupun pendidik di sekolah atau kampus sehingga akan tumbuh motivasi dan percaya diri yang tinggi.
Jangan sebaliknya, kalo ada nilai yang jelek orang tua tidak perlu marah tetapi ajak dialog agar komunikasi dapat berjalan dan orang tua tahu kesulitan bagi anaknya dan mudah untuk memberikan solusinya. Di sekolah pun demikian, para pengajar tidak perlu marah atau kesal dan mudah mengambil kesimpulan atau menjudge anak didiknya bodoh tetapi harus dimotivasi supaya anak didik tidak akan melakukan nyontek lagi. Jika perlu, diadakan penyuluhan bagi para anak didik tentang bahayanya nyontek.
Bagi kalangan pelajar yang rajin untuk belajar lebih bijak membantu teman-tamannya yang suka nyontek dengan diadakan belajar kelompok untuk diajari pelajaran yang kurang difahami atau dimengerti, sehingga teman-temanya akan terbiasa usaha sendiri daripada nyontek. Jangan sampai mereka yang rajin dan pintar menganggap teman-temanya yang suka nyontek adalah pemalas dan bodoh. Apabila mereka yang contek-isme ini dapat berubah berkat dorongan dan motivasi mereka yang rajin maka ini adalah dinamika keharmonisan pendidikan yang memang memiliki nilai Tut Wuri Handayani.
Ingat! Pepatah yang sering kita dengar "Rajin Pangkal Pandai" dan jangan mau menjadi orang yang merugi hanya gara-gara malas apalagi nyontek. Ingat masa depan masih panjang dan masih banyak untuk merubah dan mengukir prestasi yang membanggakan. Wallahu a’lam

*Penulis adalah
Mahasiswa Tafsir Hadis STIK Annuqayah

Rabu, 25 Februari 2009

KETIKA COWOK PATAH HATI

Gimana ceritanya kalau cowok patah hati? Pake acara nangis kayak cewek, nggak seh? Nah, ini persoalan cowok yang kudu disimak para cewek dan, pastinya cowok

Boyz, banyak cewek yang nyangka kalau cowok itu semuanya buaya, playboy, dan tukang bikin sakit hati para cewek. Banyak cewek berpikir kalo cowok itu hatinya sekeras baja, kagak ada sedihnya. Banyak cewek bilang kalo cowok itu pelit banget untuk meneteskan air mata.
Oke deh, itu emang persepsi cewek yang suka stereotyping terhadap kaum cowok. Pikiran yang datang dari prasangka buruk dan keliru tentang cowok. Sebagian pikiran itu ada benarnya. Tapi dikit, dikit banget, bro. Mereka, para cewek, sebenarnya emang hanya tau dikit soal perasaan hati seorang cowok. Yang paling tahu, ya cowok itu sendiri dan Allah Swt. He… Jadi ‘makasih’ banget buat Sheila on 7 yang bikin lagu Pejantan Tangguh. Lagu itu, terus terang, makin menyudutkan kaum cowok. Bikin dunia semakin percaya kalau cowok itu harus selalu pejantan dan tangguh. Padahal, cowok terkadang ‘betina’ dan looser, nggak tangguh.
Gayz, kalau kamu masih menyangka cowok itu kagak bisa sedih dan patah hati, sekaranglah saatnya mengubah pandangan itu semua. Lewat tulisan ini, saya pengen buka-bukaan soal derita dan duka makhluk yang suka disebut pejantan tangguh. Bahwa cowok juga bisa patah hati. And it can be so bad.

Mereka juga perasa
“Gw udah pernah diputusin ama cewek,” kata Windi, cowok yang sukses ‘disergap’ SoDa. “Lima kali, malah!” Wuih, banyak betul, Win! Cowok yang baru aja lulus SMU ini ngaku sempat tertekan. Menurutnya, para cewek itu mutusin hubungan dengannya karena orang tuanya nggak setuju. Akhirnya, para cewek yang pernah jadian pun blingsatan meninggalkannya alone. Ihik, ihik!
Bukan cuma Windi yang pernah ngerasa patah hati sebanyak itu. Sebut aja Asep, cowok jangkung yang bisa dicegat SoDa juga ngaku pernah broken heart lebih dari 5 kali. Luka yang paling dalam adalah saat kehadiran orang ketiga. Sang cewek ternyata sering curhat dan jalan bareng dengan cowok laen. Terang aja Asep kagak bisa terima. Mereka pun putus.
Patah hati pastinya meninggalkan luka. Itulah yang dirasakan keduanya. Windi ngaku ia butuh waktu 3 bulan untuk melupakan kisah kasihnya. Untuk menghilangkan luka, ia sering curhat pada temannya. Uniknya, teman curhatnya juga cewek lagi. Tapi Windi mengakui ia nggak pernah jatuh hati pada teman curhatnya. Selain itu, Windi ngaku banyak berolah raga untuk mengalihkan perhatian, dan banyak berdoa.
Asep lain lagi. Meski ngaku nggak terlalu sakit hati dengan mantan pacar-pacarnya, tapi ia suka menenggelamkan diri dalam lagu-lagu melankolis. Lagu Risalah Hati-nya Dewa sering jadi ajang pelarian cowok ini. Selain itu, Asep ngaku suka penasaran dengan keadaan mantan-mantannya; seperti apa sih cowok mereka.
Tapi nggak semua cowok suka ngabisin waktu dalam suasana melankolis kala patah hati. Rekanmu yang lain, Anwar, ngaku ia nggak suka tenggelam dalam suasana berkabung. Meski butuh waktu sampe 6 bulan saat patah hati dari cinta pertamanya, tapi ia lebih milih cari suasana hati yang kondusif. “Nggak usah didramatisirlah,” kata temanmu yang lain, Riki.

Kagak bakal mati
Walah sudah dikuat-kuatin, yang namanya patah hati tetep aja perih di hati. Itu naluriah yang melekat pada semua orang. Semua temanmu di atas mengalaminya saat hubungan (nggak) resmi mereka bubar di tengah jalan. Pacar-pacar mereka pergi begitu saja. Ada yang karena nggak cocok, ada juga yang karena berlabuh di lain hati.
Hal serupa juga dialami mereka yang gagal dalam melamar cewek idaman. Ada perasaan pahit, nelangsa ditambah rasa malu. Ditolak, bo!
Tapi, bagi mereka yang pernah putus cinta, atau lamarannya ditolak, kagak usah khawatir. Sebabnya, cinta yang tak kesampaian itu tidak berbahaya. Cinta bukanlah kebutuhan jasmani layaknya makan dan minum. Kalau tanpa makan manusia bisa meninggal dalam tujuh hari, atau tiga hari tanpa air, tapi tanpa cinta manusia masih bisa survive. Mereka yang mati saat patah hati, itu mah lantaran bunuh diri, bukan semata putus cinta.
Emang sih, ada teori yang datang dari Sigmund Freud, Bapak Psikoanalisa, yang pernah bilang kalau libido seksual adalah dorongan kehidupan manusia. Kalau nggak terpenuhi, menurutnya manusia bisa menderita bahkan mati. Freud juga ngasih saran, supaya manusia bahagia, maka harus memuaskan libido seksual dengan tanpa batas.
Teori ini jelas banyak ngawurnya. Mereka yang jadi budak nafsu justru banyak yang sengsara. Resiko hamil di luar nikah, aborsi, belum lagi ketularan penyakit kelamin. Hiii!

Buat pergaulan sehat
Patah hati bisa karena dua hal; diputusin pacar atau ditolak waktu ngelamar. Tapi kalau dipikir-pikir, kebanyakan cowok yang patah hati sekarang adalah karena pacaran. Padahal, pacaran itu gimanapun juga lebih sering bikin kesel hati, ketimbang having fun-nya. Pacaran itu kan hubungan tanpa ikatan (HTI). Statusnya kagak jelas, tapi soal ‘pengorbanan’ jelas; kudu keluar uang waktu apel, jaga perasaan, dan besarnya peluang berbuat yang ‘nggak-nggak’.
Nggak usah deh tergoda untuk menyelami rasa cinta sebelum waktunya. Apalagi dengan cara yang nggak halal. Stay cool, boyz. Bukannya mau nasihatin, tapi kenyataannya remaja yang berpacaran kan nggak serius mau merit, alias nikah. Artinya, sejak awal mereka emang udah bikin peluang untuk putus dan pastinya berlinang air mata, ihik…ihik.
Nah, buat apa menjalin hubungan ama cewek kalo ternyata kitanya sendiri ngasih cek kosong. Kagak janji bakal nikah sama dia. And so on dia juga begitu sama kita. Mereka yang berpacaran kalo ditanya apa bakal mau nikah, biasanya ngejawab “gimana entar deh, sekarang sih kita jalanin aja dulu”. Lho, kok bisa dan mau sih digombalin ama pasangan? Apalagi yang jelas-jelas masih pake seragam putih-biru atau putih-abu-abu, mana bisa dan mau nikah cepet-cepet. Artinya, mereka ngejalin hubungan tanpa ada komitmen serius.
So guyz, berhenti deh menyakiti diri sendiri. Hindari aja hubungan kagak sah dan serius. Kalo emang kita udah ngerasa mantep mau ngejalin hubungan, itu emang kita mau nikah. Lainnya nggak. Dengan begitu kita terhindar dari perbuatan dosa dan ending yang menyedihkan; patah hati.

Obat patah hati
Kalau terlanjur patah hati, karena putus ama pacar atau mutusin pacar setelah baca artikel ini (amin!). Atau karena lamaranmu ditolak akhwat, tetep positive thinking. Seperti kata iklan, ambil enaknya aja.

1.Jangan perparah keadaan. Hindari suasana mellow atau melankolis. Nggak usah deh nyitir lirik lagu Pupus-nya Dewa atau Cinta Sejati-nya Arie Lasso. Itu sama aja membubuhi garam pada luka. Periiih, bro!
2.Inget kalo putus asa itu dosa. Nabi saw. bersabda: “Dosa besar itu adalah mempersekutukan Allah, putus asa dari karunia Allah, dan putus harapan dari rahmat Allah.”(HR Al Bazzar & Thabrani)
3.Jangan menyendiri. Cari teman-teman yang bisa ngasih masukan dan support yang enak. Dengan bergaul dan curhat sedikit beban kita bakal terangkat.
4.Bersyukur. Kalau kamu putus dari pacar, itu tandanya terbebas dari maksiat, mendekati zina. Kamu layak bersyukur. Kalaupun ditolak saat melamar, itu tandanya Allah ngasih tahu bahwa sang akhwat nggak matching ama kamu.
5.Bikin kegiatan positif. Gerakkan badan dan pikiranmu dengan olah raga, membaca, belajar serius. Maka pikiran jadi jernih.
6.Perbanyak taqarrub pada Allah. Dia yang di ‘atas’, akan selalu kasih jalan keluar yang terbaik buat hamba-hambaNya. Oke!

Senin, 23 Februari 2009

PESANTREN DAN PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME

Oleh: Fahmi

Agar semua budaya benar-benar menjadi dirinya sendiri dan menghasilkan sesuatu, maka budaya tersebut dan anggotanya harus yakin akan orisinilitasnya, bahkan sampai taraf tertentu, akan superioritasnya di atas yang lain. (Claude Lévi-Strauss)

Di tengah derasnya arus globalisasi yang menggerus budaya-budaya lokal, tantangan yang nyata sesungguhnya adalah bagaimana kita harus menyelamatkan identitas kebudayaan kita yang secara berangsur-angsur mulai tercerabut dari akarnya. Kita dihadapkan pada “krisis kebudayaan” yang kemudian disusul dengan krisis-krisis yang lain.
Pendidikan, sebagai pilar dan pondasi kebudayaan, kini sudah kehilangan fungsi fundamentalnya. Tugas serta fungsi pendidikan yang seharusnya melakukan kerja-kerja kebudayaan, mencipta dan mengisi kehidupan, malah tenggelam dan larut dalam tuntutan globalisasi yang memapankan budaya kapitalistik.
Salah satu sifat buruk kapitalisme adalah wataknya yang eksploitatif. Ini tidak hanya berlaku bagi majikan terhadap buruh, juga bagi institusi pendidikan terhadap siswa-siswanya. Hal ini bisa dilihat dari mahalnya biaya pendidikan, kurikulum-kurikulum pendidikan yang dipaksakan, dan orientasi dunia pendidikan yang hanya menyiapkan “buruh-buruh” baru untuk dipekerjakan pada lahan-lahan tertentu. Sehingga, untuk mengukur seberapa jauh kualitas pendididkan sekarang, kita melihat dari sejauh mana ia dapat menciptakan pekerja-pekerja yang handal dan memiliki kemampuan dan keterampilan dibidang-bidang tertentu.
Para siswa sudah dikapling-kapling oleh silabi yang menjadi konsumsi mereka sehari-hari. Sehingga watak pendidikan kita tidak lagi membebaskan. Pendidikan hanya menjadikan kita terasing dari dunia kita sendiri. Kita dituntut untuk mengikuti budaya global yang menyeragamkan segala tingkah laku, pola pikir, pengetahuan, dan kebutuhan manusia. Ini sebetulnya cikal-bakal krisis kebudayaan kita.
Krisis kebudayaan berurat-berakar pada krisis identitas. Kita sebetulnya tidak memiliki identitas yang jelas semenjak kolonialisme-imperialisme menginjakkan kaki di negara kita. Kolonialisme-imperialisme dalam bentuk fisik memang sudah terkubur dalam kubangan sejarah. Namun, jejak-jejaknya masih bisa kita rasakan sampai sekarang, dan itu masuk dalam alam bawah sadar kita.
Bahkan, kalu kita mau jujur, kolonialime-imperialisme sebetulnya masih berlanjut sampai sekarang melalui penaklukan pikiran, budaya, ekonomi, bahkan politik. Dan justru bahaya paling serius yang dihadapi bangsa-bangsa saat ini adalah imperialisme kultural yang tengah berlangsung sampai sekarang itu. Imperialisme kultural, sebagaimana yang dikatakan Hasan Hanafi, dilakukan dengan cara menyerang kebudayaan dari dalam, dan melepas afiliasi atas kebudayaannya sendiri, sehingga kita tercerabut dari akarnya. (Shimogaki, 2004:98)
Neo kolonialisme-imperialisme itu kemudian menemukan momentumnya dalam dunia pendidikan yang merangkum ide-ide modernisme, liberalisme dan pencerahan. Pusat orbitnya memancar dari pusat ke pinggiran. Semakin kita mendekati titik orbit, maka kita semakin modern dan maju. Artinya, kalau kita ingin maju maka harus mengikuti dan menyesuaikan diri dengan pusat. Ini yang saya maksud dengan krisis identitas itu. Akibatnya, kita kehilangan kepercayaan diri prihal masa depan dan ide tentang kemajuan. Mentalitas kita sudah dibentuk sedemikian rupa sehingga kita tidak mampu lagi mengenali jati diri yang sebenarnya. Subjek kita adalah subjek buatan yang dibentuk semenjak kita masuk bangku sekolah.
Pesantren: Pendidikan Multikulturalisme
Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pesantren dituntut untuk tetap eksis dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Meskipun demikian, Pesantren [khususnya pesantren salaf] tidak harus melebur ke dalam arus globalisasi dan tuntutan-tuntutan modernitas. Biarkan ia menciptakan kebudayaannya sendiri yang memiliki dinamika, corak, ciri khas, dan paradigma “kemajuan” sendiri.
Identitas pesantren tidak bisa dinilai dan didefinisikan oleh “orang luar”, biarkan ia mendefinisikan identitasnya sendiri. Selama ini pesantren selalu “dipandang”, maka untuk saat ini dan seterusnya biarkan ia “balik memandang”. Pesantren adalah ciri pendidikan Indonesia yang bercorak keindonesiaan (indigenous). Ketika pesantren di-modern-kan dan kurikulumnya disesuaikan dengan pendidikan formal, indigenous pesantren akan hilang dan tidak memiliki nilai tawar lagi di mata dunia internasional. Akibatnya, kita tidak bisa membedakan: mana pendidikan pesantren dan pendidikan nonpesantren; pendidikan nonkapitalistik dan yang bercorak kapitalistik; produk “asli Indonesia” dan “bikinan luar negeri”.
Selama ini “citra diri” pesantren dibentuk dan ditampilkan berdasarkan kesadaran “orang lain” itu. Pesantren diobjektivasi layaknya situs-situs peninggalan purba. Adanya kategori-kategori yang dilekatkan pada pesantren, seperti tradisional atau modern adalah contoh nyata hasil dari pembentukan “citra diri” itu. Pesantren dianggap “primitif”, terbelakang, dan masih akrab dengan mitos, tahayul, khurafat, dll (irasional), sehingga perlu dicerahkan dengan memasukkan keilmuan modern yang berpondasikan pada rasionalisme, empirisme, dan berbau positivisme. Dengan ini, pesantren akan mampu beradaptasi dengan modernitas sekaligus mampu bersaing dengan lembaga pendidikan modern.
Padahal, untuk saat ini kita butuh model pendidikan multikulturalisme, yakni pendidikan yang dihasilkan dari wacana lokal dan rasionalitas lokal yang selama ini sudah menjadi custom atau tradisi pesantren. Pesantren memiliki paradigma tersendiri tentang kemajuan. Bagi pesantren, kemajuan haruslah bertitik tolak dari tradisi agar tidak mengalami keterputusan sejarah. Salah satu prinsip yang dipegang pesantren sampai sekarang adalah: “al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.
Kita harus yakin sekaligus bisa meyakinkan bahwa tradisi kita pun mampu melakukan perombakan, perubahan, dan perbaikan umat manusia. Maka, sebagaimana yang dikatakan Hasan Hanafi, tugas pertama kita adalah melokalisasi Barat, mengembalikan pada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos “mendunia”, yang selama ini dibangun melalui upaya menjadikan dirinya sebagai “pusat peradaban dunia” dan berambisi menjadikan kebudayaannya sebagai “paradigma” kemajuan bagi bangsa-bangsa lain. Wallahu a'lam


*Penulis adalah santri PP. Annuqayah Latee
Aktifis Pergerakan Mahasiswa Idealis (PERMIS)
Komisariat PMII Guluk-Guluk Sumenep Madura

Minggu, 22 Februari 2009

PERAN KAUM SARUNGAN DI ERA REFORMASI

Oleh: Fahmi

Memang bulan Mei 1997 lebih dikenal sebagai start point bagi kalangan akademis dan civitas dalam menunjukkan kekuatannya di mata publik di masa orde baru, dengan desakan reformasi-nya yang mahadahsyat telah berhasil menumbangkan rezim tirani Soeharto, melalui reformasi ini juga sebenarnya komunitas kaum sarungan (santri) turut bersemi menunjukkan potensi dan eksistensinya di tengah masyarakat luas.
Bagaimana tidak, beberapa santri tulen semisal KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) turut tampil dalam pergolakan tersebut, atau Nur Cholis Majid (Cak Nur) cendekiawan yang mengenyam lama penididikan pesantren, sangat diperhitungkan partisipasinya dalam proses bergulirnya reformasi. Namun kaum sarungan sepertinya luput dari bidikan wartawan, peran santri tidak terekam dengan baik dalam pita sejarah reformasi.
Sepuluh tahun reformasi bergulir, sepanjang itu pula nyatanya kiprah kaum sarungan (santri) semakin diperhitungkan dalam interaksi riil sosial, politik dan budaya. Dalam kancah politik, kaum santri tidak lagi menjadi obyek dari kepentingan sesaat politisi dan partai politik, akan tetapi dinamika perpolitikan Indonesia diwarnai pula oleh politisi santri yang tidak lagi malu dengan identitas kesantriannya, atau munculnya partai-partai politik yang berbasis massa kaum sarungan seperti PKB, PKU, PNU, PBR, dan PKNU yang baru-baru ini dideklarasikan oleh beberapa ulama sepuh NU.
Gaung komunitas santri dalam dedikasinya terhadap kondisi bangsa tidak segegap gempita image akademis dan civitas perlu kita baca kembali dengan realitas dipegangnya beberapa pos strategis pemerintahan oleh kaum sarungan, Gus Dur adalah prseiden RI ke 4, ayahnya KH. Wahid Hasyim pernah menjabat sebagai Menteri agama, begitu juga. Mukti Ali dan Saefullah Yusuf adalah sosok santri senior yang sempat tampil dalam birokrasi pemerintahan pusat.
Dalam dunia seni dan budaya, kita akan mengenal Acep Zamzam Noor (penyair asal pesantren Cipasung), atau KH. Musthafa Bisri (budayawan asal pesantren Rembang), dimana kreasi dan inovasi mereka sangat mempengaruhi atmosfir seni dan budaya di nusantara, bahkan Musthafa Bisri adalah budayawan nasional yang kerap dijadikan rujukan umat bukan hanya dalam lini kebudayaan.
Lingkup sosial masyarakat, setidaknya kita bisa melihat peran ormas NU, beserta perangkat dan badan-badan otonomnya banyak mendampingi grass root dalam mengusung agenda reformasi agar benar-benar menyentuh kalangan bawah. Begitu juga bermunculannya lembaga swadaya masyarakat (LSM) banyak yang dimotori oleh kaum sarungan, baik LSM yang konsentrasi di bantuan hukum, lingkungan hidup, kerukunan umat beragama, ekonomi maupun yang bergerak di bidang pendidikan.
Sayangnya dengan realitas sejarah di atas, data sejarah reformasi yang kita kenal selama ini masih menyimpulkan peran kaum santri tetap termarjinalkan dalam ruang publik, saya melihat hal ini disebabkan oleh tiga faktor berikut:
Pertama, minimnya publikasi, peran media dalam menciptakan opini publik sangat dominan, sekecil apapun berita dan peristiwa yang dikemas oleh para kuli tinta dan diekspos melalui media massa (baik cetak maupun elektronik) akan menciptakan opini yang kuat di tengah masyarakat yang mengkonsumsinya. Sayangnya semangat “keikhlasan” yang tertanam dalam pribadi-pribadi kaum santri telah menggusur urgensi unsur propaganda media, padahal inti publikasi itu sendiri sebagai usaha dalam menumbuhkan sikap ghirah (tertarik untuk melakukan) pada orang lain dalam hal yang positif. Sementara di sisi lain tidak jarang komuintas tertentu berani membayar pers demi kepentingan membangun image.
Kedua, Lemah dalam sistematis jaringan, lazimnya lembaga maupun organisasi yang mapan, sistematis networks adalah hal krusial dalam membangun link dengan pihak lain. Sebagai contoh, sekelompok santri yang peduli terhadap lingkungan hidup melalui program ro’an (kerja bakti) mingguan, biasanya hanya mengandalkan potensi internal komunitasnya saja, tanpa mencoba mengembangkan sayap kerja dengan berbagai pihak yang se-bidang, baik instansi pemerintah, swasta, maupun LSM. Jaringan kerjasama dengan pihak eksternal mutlak dibutuhkan dalam rangka melebarkan sayap kerja, yang secara otomatis masyarakatpun akan merasa lebih diayomi oleh para santri. Dengan relasi kerja ini pula, sekelompok santri peduli lingkungan dalam contoh di atas akan terdeteksi peran dan kontribusinya, akan terbaca lebih luas oleh masyarakat segala kiprahnya.
Ketiga, agenda temporer dan kondisional, inilah faktor terkahir yang menyebabkan peran kontribusi kaum sarungan tampak kurang optimal. Kalau kita amati lebih jauh, ternyata banyak jenis kegiatan yang dimotori oleh kaum sarungan sifatnya hanya kondisional, pendidikan poilitik, hanya sebatas menjelang tibanya pemilu, selepas gegap gempita pesta demokrasi, program yang semestinya diadakan berkesinambungan di komunitas lenyap begitu saja. Atau pembekalan manajemen ekonomi dan bisnis, konsistensinya tidak menjadi target dalam mengadakan program kerja. Flash activities inilah yang sebenarnya akan membuahlkan hasil yang serba tanggung, akhirnya masyarakat pun tidak sepenuhnya memahami apa yang ditargetkan oleh agenda kaum sarungan.
Kalau saja tiga faktor di atas diperhatikan oleh kaum santri, saya yakin kontribusi kyai dan santri dalam mengusung agenda reformasi akan lebih terbaca luas oleh publik, bukankah dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia 85 persennya adalah muslim? Dan bukankah dari sekian banyak kaum muslim Indonesia mereka adalah kaum sarungan? Lantas yakinkah kontribusi dan peran santri dalam dunia nyata selama ini sangat minim? Untuk itulah saya yakin bahwa kaum santri telah banyak berpartisipasi, walaupun secara kasat mata jarang yang mengapresiasi jerih payah mereka. Wallahu A’lam

Penulis adalah Staf Pengurus Pusat
Pondok Pesantren Annuqayah
Guluk-Guluk Sumenep

About This Blog

Translatro

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Widget by : Blog tutorial

About This Blog

  © Blogger templates 'Sunshine' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP